Kyai Galang Sewu, Tembalang–Momen lebaran selalu ditunggu-tunggu umat muslim diseluruh dunia, tak lupa begitu juga masyarakat di nusantara. Setelah satu bulan melaksanakan ibadah puasa, banyak masyarakat mempersiapkan diri untuk meraih hari kemenangan itu seperti membeli baju baru, menyiapkan hidangan untuk tamu lebaran, membuat kupat dan lepet, dan lain sebagainya. Jika membicarakan tentang kupat dan lepet, ada hal menarik yang tak pernah ketinggalan di hari raya yakni Bada Kupatan, orang–orang Jawa menyebutnya.
Dari segi bahasa, bada berasal dari bahasa arab, ba’da, yang artinya sesudah. Kupatan berasal dari bahasa jawa, kupat, yang merupakan nama makanan khas lebaran berbahan dasar beras dibungkus menggunakan anyaman daun kelapa (janur) berbentuk belah ketupat. Pada kata “kupat” diberi imbuhan -an, menurut orang – orang jawa hal ini bermakna nama sebuah kegiatan. Maka, secara istilah bada kupatan adalah nama sebuah kegiatan syukuran berupa makan kupat yang dilaksanakan setelah Hari Raya Idul Fitri.
Senin 09, Mei 2022, bertempat di Pondok Pesantren Kyai Galang Sewu (Ponpes. KGS) Tembalang, Semarang asuhan Bapak Kyai Muhammad Nur Salafuddin, A.H., turut serta melaksanakan Bada Kupatan diawali dengan sholat Isyroq 2 rakaat, lalu sholat Dhuha 4 rakaat dua kali salam, sholat Kafaratul Baul 2 rakaat, dan dilanjutkan pembacaan Tahlil dipimpin Bapak Pengasuh. Serta tidak lupa diakhiri dengan makan kupat bersama-sama.
Ditengah kegiatan ini Bapak Pengasuh menyampaikan beberapa mauidhoh hasanah terkait Bada Kupatan, tepatnya setelah pelaksanaan sholat Kafaratul Baul. Beliau menyampaikan filosofi seputar Bada Kupatan. Makna “kupat” sendiri yang disampaikan Bapak Pengasuh yaitu berasal dari bahasa Jawa Ngaku Lepat, yang artinya mengakui kesalahan. Budaya ini dimulai sejak jamannya Sunan Kalijaga tetap lestari sampai sekarang. Bungkus kupat terbuat dari janur (Ja a Nuurun) artinya turun atau datang cahaya Allah SWT, sehingga kesalahan manusia dihapus oleh Allah SWT. Lalu beliau menyampaikan cara memotong kupat ini harus dibelah dan ketika dibelah berwarna putih, mengartikan bahwa hati manusia sudah bersih, karena kupat sendiri adalah simbol daripada hati manusia.
Kemudian selain kupat beliau juga menerangkan filosofi dari lepet. Lepet, “disilep sing rapet”, bermakna ketika sudah bermaaf-maafan maka segala kesalahan kita dan orang lain disimpan yang rapat, tidak diungkit-ungkit kembali. Lepet ini terbuat dari ketan sehingga lengket ibarat kita sudah saling bermaaf-maafan maka harus merekatkan kembali persaudaraan dengan orang lain.
Terakhir beliau menjelaskan bahwa kupat dan lepet ini biasanya dihidangkan bersama dengan opor, opor sendiri juga bermakna Ghofur (ampunan Allah SW ), jadi lengkap sudah pemaknaan lebaran diringkas dalam simbol Kupat, Lepet dan Opor, kalau sudah hatinya bersih karena bermaaf-maafan timbullah rasa persaudaraan yang erat dan insya Allah turun ampunan dari Allah SWT.
Acara Bada Kupat di Ponpes. KGS ditutup dengan para santri dan segenap keluarga besar Ponpes. KGS memakan kupat yang disajikan dalam nampan bersama dengan opor.
Reporter : Nudiansyah (KGS/Red)
Editor : Desi (KGS/Red)