Sebuah kata, ialah “santri”
Julukan, jubah kehormatan, atau apalah itu
Seharusnya ku tak terlalu memikirkan hal ini
Namun… dia terus mengusikku
Dialah kata yang unik
Suatu martabat telah tertancap erat padanya
Namun tidak dihadapan udikku
Entah aku yang udik atau mereka yang buta
Menjadi sesuatu yang “wah” dalam pandangan “beragama”…
Benar, dialah hal itu…
Menjadi sesuatu…. Hmmm, itukah esensinya?
Setahuku falsafah Jawa berkata “Urip iku Urup”
Dia hanyalah sebuah nama
Dia hanyalah sebuah kulit dan tampilan
Dia mudah dipinang ketika seorang insan masuk dalam buaian kyai
Dia menjadi “sesuatu” ketika ia berada dalam lingkup “kebodohan umum”
Lupakah kita akan sosok “Gus Dur” itu?
Santri dengan keluguan “batin”nya
Memandang seluruh insan dengan pandangan yang sederajat itu
Lalu… sudahkah tersentuh akal bodohmu itu?
Atau sudah lupakah kita akan sosok “Kanjeng Sunan Kalijaga” kita itu?
Segala esensi hidup, beliau lukiskan dengan unsur “banyu”
Wayang menjadi saksi bisu pemikiran esensi beliau
Lalu… sudahkah tersentuh hati busukmu itu?
Ku pernah mendapat “wejangan” dari guruku
“Seorang mursyid pun tetap memiliki potensi buruk nak”
Ku pun pernah melihat “wejangan” itu dalam hidupku
Kala itu, runtuh segala “pemikiran kulit” dalam benakku
Lalu, izinkan ku bertanya pada hatimu dan bukan pada dirimu
Masihkah kau menjadi inti dari “pemikiran kulit”mu sendiri?
Sudahkah kau terbuka dengan goresan tintaku ini?
Tanyakan benar pada hatimu itu
Goresan tinta Biyan Idna R.H.A