Entah Kemana

Puisi

Sebuah kata, ialah “santri”

Julukan, jubah kehormatan, atau apalah itu

Seharusnya ku tak terlalu memikirkan hal ini

Namun… dia terus mengusikku

 

Dialah kata yang unik

Suatu martabat telah tertancap erat padanya

Namun tidak dihadapan udikku

Entah aku yang udik atau mereka yang buta

 

Menjadi sesuatu yang “wah” dalam pandangan “beragama”…

Benar, dialah hal itu…

Menjadi sesuatu…. Hmmm, itukah esensinya?

Setahuku falsafah Jawa berkata “Urip iku Urup”

 

Dia hanyalah sebuah nama

Dia hanyalah sebuah kulit dan tampilan

Dia mudah dipinang ketika seorang insan masuk dalam buaian kyai

Dia menjadi “sesuatu” ketika ia berada dalam lingkup “kebodohan umum”

Lupakah kita akan sosok “Gus Dur” itu?

Santri dengan keluguan “batin”nya

Memandang seluruh insan dengan pandangan yang sederajat itu

Lalu… sudahkah tersentuh akal bodohmu itu?

 

Atau sudah lupakah kita akan sosok “Kanjeng Sunan Kalijaga” kita itu?

Segala esensi hidup, beliau lukiskan dengan unsur “banyu”

Wayang menjadi saksi bisu pemikiran esensi beliau

Lalu… sudahkah tersentuh hati busukmu itu?

 

Ku pernah mendapat “wejangan” dari guruku

“Seorang mursyid pun tetap memiliki potensi buruk nak”

Ku pun pernah melihat “wejangan” itu dalam hidupku

Kala itu, runtuh segala “pemikiran kulit” dalam benakku

 

Lalu, izinkan ku bertanya pada hatimu dan bukan pada dirimu

Masihkah kau menjadi inti dari “pemikiran kulit”mu sendiri?

Sudahkah kau terbuka dengan goresan tintaku ini?

Tanyakan benar pada hatimu itu

 

Goresan tinta Biyan Idna R.H.A

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *